Segera evakuasi warga Bukit Kalitengah!

Bukit Kalitengah yang berada di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, kembali retak. Pada Senin (24/12) lalu, tercatat retakan itu sepanjang 25 meter berkedalaman sekitar 17 meter. Namun, pada Sabtu (29/12), kedalaman retakan sudah bertambah enam meter, menjadi 23 meter dan panjang retakan juga bertambah menjadi 75 meter.
Ironisnya, berdasarkan informasi dari Tim SAR Boyolali, sebelumnya, bukit yang berada di lereng Gunung Merbabu tersebut juga pernah retak dan warga yang tinggal di bawahnya sempat mengungsi. Namun, oleh warga setempat, akhirnya retakan itu diberi tanah dengan harapan retakan bisa mengecil. Kemudian, di lokasi retakan itu diratakan untuk ditanami sayur mayur.

Fakta ini jelas mencengangkan kita semua. Betapa tidak! Dengan fakta seperti itu, warga yang berdomisili di bawah bukit, masih bertahan di rumah mereka. Sebetulnya Tim SAR Boyolali telah berencana merelokasi warga pada Sabtu (29/12) lalu, namun nyatanya sampai detik ini tak terealisasi. Padahal, ada 217 kepala keluarga (KK) yang mendiami kawasan di bawah bukit tersebut. Tim SAR Boyolali juga melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan kerugian (baik jiwa maupun material) yang mungkin ditimbulkan dari retakan tersebut. Pertama, memasang alat pemantau retakan. Diharapkan, alat tersebut bisa memberikan gambaran agar warga bisa melakukan evakuasi, jika terjadi retakan yang cukup besar.

Langkah kedua yang dilakukan yaitu memetakan tiga lokasi berdasarkan tingkat bahaya yang dihadapi warga yang berdomisili di bawah bukit, yakni primer sebanyak 77 KK, sekunder 53 KK dan tersier 87 KK. Dari tiga jenis ancaman tersebut, warga yang berada di range primerlah yang perlu mendapat perhatian utama. Bahkan, berdasarkan data, sebanyak tujuh KK yang berada di range primer dipandang perlu dievakuasi.
Sayangnya, hingga kini tak ada tindakan nyata untuk menyelamatkan warga dari ancaman tanah longsor yang sewaktu-waktu bisa menerjang rumah mereka. Pemkab Boyolali hanya sebatas memberikan komitmennya berupa bantuan senilai Rp 7,5 juta kepada warga yang berencana pindah ke lokasi lain yang lebih aman. Tak pernah ada tindakan nyata seperti merelokasi “paksa” warga ke daerah lebih aman. Bahkan, Pemkab juga menyerahkan masalah pemilihan lokasi kepada masing-masing warga.
Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Apalagi, bila mengingat, akhir-akhir ini ada begitu banyak musibah tanah longsor melanda kawasan Soloraya. Karanganyar dan Wonogiri misalnya, yang telah lebih dulu diterjang musibah tanah longsor. Mengapa Pemkab Boyolali dan warga sekitar Bukit Kalitengah tak mau belajar dari pengalaman Karanganyar dan Wonogiri? Haruskah menunggu sampai terjadi longsor?

Lihat contoh di Karanganyar, puluhan jiwa melayang dan kerugian material mencapai ratusan juta rupiah. Bukan hanya warga yang harus menanggung derita akibat bencana, melainkan pemerintah daerah setempat pun ikut menanggung kerugian yang sama berupa rusaknya sejumlah infrastruktur. Jadi, alangkah baiknya bila segera ada langkah konkret dari Pemkab Boyolali dan instansi terkait dalam menyelamatkan warga. Bukankah, sudah menjadi tugas pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap warganya sebagaimana diamanatkan UUD 1945?

Namun, yang lebih penting lagi adalah pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Memang, bumi dan air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Namun, bila kita tak bijaksana dan bersikap semena-mena dalam pemanfaatan bumi dan air, maka bisa berbalik menjadi sumber bencana. Apakah kita mau selamanya hidup di bawah bayang-bayang ancaman bencana alam?

Karena itu, mari, mulai sekarang kita ubah paradigma berpikir kita dalam memandang pemanfaatan sumber daya alam. Janganlah seluruh lereng pegunungan diubah menjadi lahan pertanian yang bisa berpotensi menimbulkan bencana tanah longsor. Jangan pula menebangi hutan di lereng pegunungan secara membabi buta. Sebab, bila terjadi bencana, kita semua yang akan menanggung akibatnya. Jadi, sebelum terlambat, mari kita selamatkan alam!

sumber solo pos .co .id

No comments: